Penulis: Arika Wahyuningsih
Editor: Irvan Hidayat
Tidak ada gemerlap lampu dan bising kendaraan seperti di kota, hening dan sangat sederhana. Semuanya kian membuat hangat kekeluargaan kami, kala mengabdi kan diri untuk pendidikan di Sukabumi.
Sedari sore tadi kaki kami melangkah menjejaki jalan setapak yang menanjak dan menurun dengan permukaannya yang licin. Kami tak tahu, sebenarnya tujuan kami akan kemana dan seperti apa, karena sudah lebih dari 90 menit kami berjalan belum juga tujuan itu terlihat. Salah satu kakak penggerak berkata kalau perjalanan sebentar lagi akan sampai. Namun dalam pikiran aku terbesit ingatan biasanya juga begitu, bilangnya sebentar lagi tapi nyatanya masih jauh.
Hingga kami melewati salah satu jalan setapak sedikit melingkar ke arah kiri. Dan benar saja aku melihat gemerlapnya cahaya-cahaya yang berasal dari beberapa rumah warga. Malam itu memberikan suasana yang menakjubkan. Aku pikir sedang berada di sebuah selter pendakian atau pos pendirian tenda. Ternyata aku menginjakkan kaki di sebuah kampung nan jauh dari kota.

Temaramnya lampu membuat aku penasaran seperti apa suasana kampung ini saat matahari tengah bersinar. Rumah-rumah dengan penyinaran seadanya tersusun dari bawah hingga ke atas, ternyata bukan hanya sawah yang disusun dengan metode terasering, rumah-rumah di kampung ini juga dibuat demikian. Sejak pertama kali menginjakkan kaki di Kota Sukabumi pun aku sudah penasaran dengan keadaan kampung di mana aku akan ditempatkan. Di dalam bayanganku, selalu menyediakan ruang untuk takjub pada tempat-tempat baru yang akan memberikan banyak pelajaran.
Belum selesai aku mengagumi suasana malam itu di kampung yang baru dengan suasana yang baru pula, aku dihadapkan dengan hangatnya sambutan warga sekitar. Setelah melewati jalan setapak di tengah-tengah sawah kami diarahkan ke salah satu warung yang berada di depan mushola kampung. Sederhana sekali bentuk warung itu, warung yang langsung terhubung dengan rumah dengan desain rumah panggung sederhana namun penuh kenyamanan. Kesan pertama ketika melihat kampung ini seperti aku sedang berada di luar tanah Jawa. Seperti aku sedang melayang ke daerah yang berada jauh di pulau Sumatera atau Kalimantan atau Sulawesi.

Aku benar-benar heran dengan suasana malam itu, belum lagi aku berada di tengah-tengah kehidupan masyarakat suku Sunda. Bahasa yang memang bukan baru, namun tidak begitu familiar dalam kehidupan sehari-hari aku. Malam yang begitu tenang namun penuh dengan kehangatan, diisi oleh perkenalan ringan dan candaan, semakin membuat suasana megah. Ada satu hal baru bagi aku dan memang sebelumnya sudah disampaikan oleh panitia bahwa saat di penempatan kami akan sering bertemu dengan anjing-anjing peliharaan warga. Memang benar adanya, hari-hari kami kedepan akan berdampingan dengan hewan satu ini.
Saat lelah mulai mereda, segera kami membersihkan diri kami masing-masing. Selain adanya warung di sebrang mushola ada juga dua kamar mandi yang katanya baru beberapa bulan di bangun disana. Bergantian kami mandi dan beberapa masih mengantri dengan duduk di dipan yang ada di depan warung. Segala cengkrama awal pertemuan telah kami mulai. Aku hanya diam memerhatikan dan terkadang ikut mengeluarkan gelak tawa saat obrolan sedikit dapat dipahami. Silih berganti teman-teman masuk kamar mandi dilanjutkan dengan menunaikan ibadah, ada yang memutuskan untuk beranjak terlebih dahulu ke tempat bermukim yang katanya harus naik ke atas lagi. Sebagain memilih bersantai dan ada pula yang memilih untuk tidak mandi.
Lelah yang lebih mendominasi dalam diri membuat aku untuk sedikit lebih lama duduk di dipan yang cukup untuk 6 orang. Kedatangan kami pada pukul 18.30 membuat kami sedikit bersantai dan lebih memilih melangkah bergerak lambat. Begitupun aku, tidak begitu bingung dengan urutan mandi walau terakhir sekalipun yang aku dapatkan. Pukul 20.00 langkah selanjutnya kami mulai untuk menuju tempat istirahat kami.

Desain rumah di kampung ini sebagaian besar adalah rumah panggung dengan beralaskan anyaman bambu atau kayu. Hanya beberapa kami temui rumah dengan model lainnya. Bentuk rumah ini bukan tanpa tujuan namun ada fungsi tersendiri, masyarakat bisa melindungi diri mereka dari serangan babi hutan yang kala itu sering masuk ke pemukiman warga dan memangsa hewan ternak selain itu desain rumah panggung lebih meminimalisir hawa dingin saat malam hari.
Di sini juga letak fungsi anjing-anjing yang kami temui, selain sebagai hewan peliharaan anjing juga dapat membantu menjaga keamanan rumah atau keselamatan hewan peliharaan lainnya juga dari terkaman babi hutan. Namun diketahui akhir-akhir ini babi hutan sudah tidak mendekat lagi dikarenakan faktor alam yang sudah dialih fungsikan oleh masyakarat sekitar.
Pemilik rumah dikenal dengan Bapak Komite dan Ibu Komite yang ada di desa tersebut. Pertimbangan untuk bermukim disitu bukan tanpa alasan. Kata salah satu penggerak sih dari Bapak Komite sebagai salah satu penyambung lidah antara kami para relawan dengan masyarakat sekitar. Malam saat kami tiba di rumah panggung itu, tak banyak yang dapat kami lihat dari sekitar dikarenakan kondisi telah malam dan minimnya penerangan yang ada. Kami semua langsung bergegas untuk menata kembali barang-barang kami mulai dari tas carrier yang kami bawa, baju-baju kotor yang kami pakai, dan kebutuhan lain yang kami bawa dari bawah.
Saat sampai di sana entah bagaimana kami mempersiapkan diri untuk makan. Aku dan rombongan terakhir yang naik mendapati sesuatu yang telah siap untuk disajikan dan disantap bersama. Kertas minyak dibariskan dengan lurus agar kami nyaman saat makan, nasi ditaruh diatasnya menyusul juga pernak-pernik lauk. Momen ini mengingatkanku pada sederet pengalaman yang telah ku lalui beberapa tahun ke belakang. Momen makan bersama diantara jauhnya hiruk pikuk kota, hanya ada ramainya canda dan tawa yang membawa kehangatan di tengah-tengah kami. “Ayo ambil posisi!”, suara-suara seperti itu membuat aku semakin merekahkan senyum, diantara kecanggungan di awal perjumpaan berakhir dengan kedekatan saat berada didepan hidangan.
Memberikan ruang untuk saling berbagi, mengerti dan memahami satu dengan yang lain. Inilah mengapa suasana baru selalu memberikan kesan yang tak kan pernah membosankan. Itulah salah satu alasanku selalu antusias untuk berada di lingkungan baru dengan segala keunikan yang ada. Bagaimana ikan asin menemani dan pedasnya sambal menjadi menu andalan. Ada kelegaan yang terasa saat semua tim terbuka dan tiada pilih-pilih terhadap kebersamaan yang kami ciptakan bersama. Sedari awal aku berusaha meniadakan pikiran negatif terhadap setiap individu yang ada di tim ini. Semuanya adalah unik dan akan memberikan banyak pengalaman baik tentunya.

Hidangan untuk bersantap malam telah kami habiskan, kegiatan selanjutnya adalah mengikuti pengarahan dan pembagian tugas selama berada di kampung ini. Pendamping memberikan arahan dan saran untuk agenda beberapa hari ke depan. Tentunya yang terdekat adalah agenda esok pagi untuk datang ke sekolah dan belajar bersama dengan 10 siswa-siswa yang ada di satu-satunya sekolah yang ada di kampung ini.
Melalui pengarahan dengan cukup baik kami melanjutkan agenda yaitu beristirahat. Merebahkan jiwa dan raga untuk beberapa jam ke depan demi menyambut indahnya esok pagi dengan jiwa dan raga penuh semangat. Rumah Bapak Komite ini terbagi atas beberapa kotak, ketika masuk akan terlihat ruang yang cukup luas dengan satu lemari di salah satu pojoknya. Di sebelah lemari berjajar dua kamar tidur sedangkan di sebrangnya ada satu ruangan sebagai ruang penyimpanan dan dapur. Kami tidur di ruangan luas tadi dengan beralaskan tikar/karpet dan sebagian lagi berada di salah satu kamar yang memang disediakan untuk kami. Lelah sepanjang perjalanan membuat kami kian terlelap dalam tidur.
Add comment