Penulis : Muhammad Iqbaal Fath Editor : Irvan Hidayat
Kesempatan kali ini aku mau cerita selama di Gerakan Belitung Mengajar (GBM) Batch 2 yang diselenggarakan di Pulau Long, tepat di Bulan Januari Akhir sampai Awal Februari 2020. Cerita ini mungkin hanya sedikit, dibandingkan rasa rinduku yang tersisa sampai detik ini untuk warga disana. Terlebih lagi sikap peduli warga masyarakat disana yang hampir membuatku merasa “It so deep to make me happy” And Today I’m very missed them! Hm.
So happy and make me be a lucky stiff
Hamparan kebahagiaan mereka mungkin adalah salah satu kejutan mewah Tuhan kepadaku. Menurut kamus hidupku dalam aspek sosial, tidak akan ada yang lebih indah ketika kita sudah bisa membuat orang lain bahagia. So Pleasure! Which is, aku bisa berjuang bersama rekan relawan di GBM untuk membuat acara yang secara tampilan cukup sederhana, tapi bisa mewah karena adanya kehadiran warga disana yang selalu memberikan dukungan dan kepedulian kepada GBM.
Salut bercampur bangga, melihat warga yang tinggal disana. Tinggal di pulau kecil yang dari Google Maps pun tidak ditemukan pulau ini. Dan yang terlihat dari Google Maps hanyalah Masjid Al Aqsa yaitu Masjid yang terletak di pulau ini. Kemudian letak pulau kecil ini juga yang berada di antara Pulau Belitung dan Pulau Kalimantan, dan jarak dari pulau kecil ini untuk menuju kesana pun cukuplah jauh dan memakan waktu bukan hanya 1-2 jam ,tetapi lebih dari itu. Kebayang gak sih dikapal mual, pusing, bosen, gabut, dan nunggu kapan nyampenya.
Luar biasa banget ya. Dan ketika aku berangkat menuju ke pulau ini pun, aku hanya bisa menahan pusing dan paling enak rebahan buat ngilangin pusing. Oh iya, di GBM Batch 2 ini aku juga berkesempatan satu kapal loh dengan para warga untuk menuju ke Pulau Long, karena beberapa hari yang lalu warga ada acara nikahan di Manggar, pulau Belitung.
Di kapal aku bertemu dengan warga, ngobrol dengan para relawan dan penggerak. Hal ini bermakna banget untuk menambah kedekatan aku terutama dengan para relawan baru dan warga yang secara notabene mereka juga merupakan elemen penting untuk mensukseskan acara GBM Batch 2 ini.
Pulau Long, memberikan arti pentingnya peduli

Wujud keresahan yang masih terbesit didalam fikiranku adalah “kapan ya bisa kesana lagi, ketemu warga, ngajar anak-anak, ngeliat bintang tiap malem di pinggir laut, nyanyi bareng sama pemuda disana, ngopi sambil ngobrol jokes selama di Pulau, nginep dirumah warga, dan bincang tentang program di GBM”.
Selama berada di sana, cucuran keringat rasanya gak penting untuk diperhitungkan demi berjalannya segala program yang udah kita rencanakan. Dari program kegiatan belajar mengajar, minum susu untuk siswa setiap pagi, kelas kreatif, lomba, kunjungan ke rumah warga, pesantren kilat, pemberian kursi roda untuk guru ngaji, kunjungan ke pulau sebelah, bincang bersama pemuda, dan yang diakhiri dengan acara perpisahan.
Bicara tentang kepedulian, kenapa sih harus peduli ?
Mungkin ini berawal dari gold words yang membuat diri aku lebih grow up, pernah dikatakan oleh Pablo Casals seorang seniman Spanyol, bahwa “Kedalaman makna hidup manusia ditentukan oleh kemampuan mereka untuk peduli kepada sesama.” Berbicara tentang peduli ini tentunya sudah membicarakan tentang rasa. Rasa itu bukan menggunakan fikiran, bukan menggunakan logika, dan bukan menggunakan sebuah teori. Rasa itu suatu kedalaman jiwa yang merupakan suatu anugerah Tuhan terbesar untuk dapat menemukan hal yang luar biasa dalam hidup.
Mengingat masa-masa di Pulau Long. Tempat yang gak ada sinyal sama sekali dan selama 7 hari aku merasakan itu. But, It’s no problem. Dikarenakan banyak pelajaran berharga yang bisa aku ambil untuk perjalanan hidup dimasa mendatang. Pelajarannya itu bakal aku uraikan, pertama, Di sini adalah awal aku untuk belajar apa yang dikatakan mewahnya hidup sederhana. Berawal dari kepedulian yang aku coba untuk ditumbuhkan kepada warga masyarakat, mungkin dari hal kecil seperti menyapa warga ketika aku berpapasan dengan mereka, kemudian dengan main ke rumah warga untuk berbincang-bincang, dan dengan adanya sesi makrab bersama warga yang membuat suasana antara kita makin hangat.
Oh iya, Mayoritas warga yang tinggal di pulau ini semua terlihat sederhana, rumah yang mayoritas bahan dasarnya terbuat dari kayu, makan dari hasil tangkapan laut, berpenampilan seadanya, selalu ada basa-basi untuk menghibur, dan yang paling penting mereka selalu gak ragu untuk selalu peduli sama kita dan kita juga empati pada mereka. Rasa empati ketika saling peduli itu akan menghasilkan jiwa yang satu frekuensi. Ketika aku dekat dengan warga, berbincang dirumah mereka, hidup makin berasa bahwa sederhana itu indah, sederhana itu mewah, sederhana itu menakjubkan, jauh dari hal yang pernah ditemukan orang lain di perkotaan.
Kedua, Mendapatkan pemahaman tentang bagaimana seseorang menyikapi diri kita sesuai dengan apa yang kita perlakukan pada mereka. Hal ini bisa kita dapatkan jika kapasitas kepedulian kita kepada orang lain sudah cukup membuat orang lain merasa nyaman dan tenang di saat berhadapan dengan kita. Hal ini aku dapatkan ketika di sana aku mulai menjadi orang yang berpikiran terbuka terhadap apa yang menjadi topik pembicaraan ketika sedang berkumpul bersama warga, memberikan ketulusan di setiap program yang kita laksanakan selama disana, dan mencoba berbagi rasa dan kisah tentang pengalaman hidup. Di sinilah letak kunci keberhasilan kita untuk dapat menjalin komunikasi dengan orang lain secara maksimal.
Ketiga, belajar untuk menerima indahnya kehadiran perbedaan dalam kehidupan. Keberagaman yang secara notabennya ialah adanya perbedaan yang meliputi beberapa hal di sekitar hidup kita. Tidak rugi sama sekali untuk kita hidup dalam sebuah perbedaan, cobalah berfikir, sebuah sketsa gambar yang dibubuhkan banyak warna bukan semestinya hadir untuk dibenci. Melainkan hal yang bisa kita nikmati tampilannya menggunakan indera penglihatan untuk menjadi nilai khusus untuk dipandang. Begitulah aku membangun konsep pemikiran untuk orang-orang yang sudah seharusnya menerima perbedaan.
Perbedaan yang aku rasakan selama di Pulau Long sangat bisa dirasakan, mungkin sebagai hasil sikap pembelajaran internal di organisasi GBM juga yang relawan dan penggeraknya berasal dari kampus, daerah, suku yang bermacam-macam. Rupanya, ketika berada di Pulau Long sebuah perbedaan adalah hal yang tidak asing bagi aku dan teman-teman untuk menerima adanya perbedaan.
Di Pulau Long yang mayoritasnya adalah suku Bugis, ternyata ada masih banyak lagi orang-orang yang dari berbagai belahan daerah dan suku yang berbeda bertempat tinggal disini. Sukunya meliputi Jawa, Madura, Sunda, Melayu dan lain sebagainyanya. Aku dan seluruh teman-teman GBM selalu berbaur dengan warga di sana tanpa memilih warga mana yang ingin diajak untuk berbaur. Kita tidak pernah percaya tentang asumsi masing-masing suku tuh begini-begini, tapi yang kita percayakan bahwa kita harus mengenal lebih dekat terlebih dahulu sebelum memberikan asumsi pada masing-masing orang yang notabennya berbeda suku dengan diri kita sendiri.
Keempat, memahami hukum adat yang tumbuh subur di masyarakat. Seperti yang sudah aku bicarakan dalam alinea sebelumnya bahwa mayoritas orang yang bertempat tinggal disini ialah orang yang terikat dalam suku Bugis. Ada hal yang paling penting yang selalu menjadi materi perbincangan para penggerak selama di Pulau Long. Salah satunya adat yang ada dalam acara perkawinan sebelum akan dilaksanakannya. Dengan adanya tradisi “uang panai” ini menjadi salah satu instrumen penting dari bakal calon suami yang ingin melamar bakal calon istri.
Uniknya mengutip dari pembicaraan dari Seorang warga yang bernama Tante Emi (seorang guru ngaji), uang panai yang menjadi patokan tentu variatif nominal pemberiannya. Dari yang begitu tinggi sampai dengan yang rendah. Dan kisaran uang panai tertinggi disana adalah sekitar 28-30 juta. Harga terendah bisa sampai 10 juta, berdasarkan berdasarkan penjelasan Tante Emi yang mendapatkan nominal seperti itu adalah perempuan janda, atau yang sudah ingin disegerakan untuk menikah kembali dengan adanya faktor tertentu.
Kelima, menumbuhkan rasa percaya diri yang semakin kuat. Hal ini seakan tumbuh dengan sendirinya terutama ketika sedang menjalankan program kerja selama di Pulau Long. Hal ini tampak dirasakan ketika kegiatan mengajar di kelas-kelas SDN 11 Gantung. Mental dan keberanian relawan di sana diuji untuk menghadapi tantangan yang harus dipecahkan. Mulai dari menghadapi kondisi psikologis siswa sampai dengan tingkah lakunya. Menjawab situasi yang dihadapi di sana akan membentuk kepribadian kita masing-masing agar lebih tumbuh dan berproses menjadi yang lebih percaya diri untuk melihat, memahami, dan mengatur situasi menjadi lebih kondusif dalam pembelajaran selama di sana.
Pelajaran di atas berangkat dari pengalaman yang gua rasakan dan menjadi kenangan yang tak pernah luput dari ingatan gua selama di Pulau Long. Dari pengalaman dan pembelajaran ini yang mulai membentuk kepribadian gua bahkan hingga detik ini.
Fakta-fakta menyenangkan selama di sana

Jadi, tepat setelah foto ini diambil ketika kita sedang berjalan-jalan untuk mengambil buah kelapa bersama dua warga Pulau Long dan yang lainnya juga, misi kita disini untuk mengambil 200 kelapa untuk hajatan anaknya Bu Haji yang beberapa hari lagi mau mengadakan hajatan di Manggar.
Kita memberhentikan kapal kecil ini di suatu pulau kecil bernama pulau Mentros yang berada tepat di seberang Pulau Long. Disinilah tempat kita mendonorkan darah pada nyamuk yang kehausan darah. You must know gaes! Nyamuk yang ada disini ganas banget kalo udah nyedot darah orang. Saking ganasnya, kalo udah gigit itu sampe nembus baju, bahkan kalo udah gigit pantat orang itu sampe nembus celana dan berasa banget sakitnya.
Dan sesampainya pulang ke Pulau Long, badan kita gatel-gatel ampe bentol, dan kulit juga berasa panas banget. Terlebih juga setelah dari Pulau Mentros ini kita berenang dari jam 9-11 siang gaes. It’s so hot. Dan kulit auto berubah ampe terkelupas dan panas.

Momen ini saat kita lagi kumpul bareng Pemuda sebelum beberapa hari kepulangannya
Disini ada aku, Vera, Bella, Kevin, Wahyu, Momon, Sigit, Yudho, Bang Taqim, Bang Wahyu, Bang Ringgo, dan Bang Rizky. Disini kita nyanyi bareng, sambil nyeruput kopi dan gorengan buatan bang Putra. Oh iya disini gak ada relawan, karena pas kita di sini mereka lagi pada evaluasi di tempat Pak Uli. Terus untuk mengisi kegabutan kita di sini main Uno Stacko yang kartu dan uno block. Seneng rasanya bisa berbagi pengalaman, kisah, dan cerita ke warga pulau disini.
Murid sebagai harapan bangsa dan rindu KAMI Sebagai Guru

Anak-anak yang duduk di sekolah dasar ini menjadi harapan bangsa. Untuk meneruskan sejarah perjuangan bangsa ini kedepannya akan di bawa kemana. Oleh karena itu para relawan dan penggerak sangat mengedepankan kualitas dan kuantitas tenaga pengajar yang mampu menjawab kebutuhan pengajaran terhadap para siswa secara maksimal demi tercukupinya wawasan dan ilmu pengetahuan yang mereka miliki. Dan juga kreatifitas mereka bisa berkembang selama kita disana dengan ditunjang adanya kelas kreatif yang sangat berguna bagi perkembangan motorik otak siswa. Kelas kreatif ini diisi dengan pengembangan kreasi buah tangan yang berbeda-beda. Mulai dari membuat tempat pensil, gantungan kunci, gambar pajangan, dan lain-lain.
Peran kami, relawan pada khususnya sebagai pengajar dan penggerak sebagai fasilitator selama masa pengajaran menjadi suatu rangkaian kenangan yang sulit untuk dilupakan. Terutama, aku yang selama disana ngajar ngaji anak-anak di setiap ba’dah maghrib dengan suasana masjid yang tenang, sejuk, dan nyaman ditambah dengan kerewalan anak-anak saat belajar ngaji. Terus juga, anak-anak yang tiap sore setelah pulang sekolah pasti ngeramein tempat singgah kita buat ngajak main, belajar, dan cerita-cerita.
Dan tepat di hari terakhir dan kita harus meninggalkan pulau ini. Barulah sadar bahwa momen sebahagia apapun bisa berakhir dengan waktu. Banyak pelajaran yang didapat sebagai seorang penggerak khususnya. Pengalaman ini sangat berharga dan harapan aku semoga petualangan dalam kisah ini bisa kita ulang kembali. Sekian dan Makasih.
Add comment